
Jujur saja, masalah ini menjadi seksi untuk dibincang. Tidak sampai di situ, selepas magrib satu televisi swasta di kotaku mengambil peran lengkap, yakni dengan audio-visualnya. Semua orang tahu, kalau PPDB ini ibarat bola panas yang menggelinding ke seluruh penjuru arah. Pertanyaannya, kenapa PPDB selalu bermasalah?, jawabannya adalah pembuat kebijakan gamang, sehingga penyelesainnya tidak menyentuh pada pokok persoalan.
Melihat pemberitaan yang begitu dahsyatnya, sampailah aku pada sebuah kesimpulan, ternyata di kotaku banyak orang pintar. Di kotaku terlalu banyak orang yang minta di dengar pendapatnya. Namun sayang, ianya tuli, dan bahkan tidak peduli. Padahal ia punya peran strategis untuk bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya.
Mengutip pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh (di media online, Kompas) ia memberikan garansi pada kepala sekolah dari intervensi berbagai pihak di masa penerimaan peserta didik baru (PPDB). Masih menurut pak menteri, kepala sekolah merupakan pihak yang harus dilindungi agar tidak menerima intervensi dan tekanan dari siapa pun. Sehingga, penerimaan siswa di sekolah bisa berjalan murni atas dasar kemampuan akademik.
Kalaulah, pernyataan pak Menteri ini menjadi sebuah soal dalam satu mata pelajaran yang diujikan pada siswa SMA, bisa dijamin, untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah begitu sulit. Apa lacur?. Adalah menjadi rahasia umum, Justru intervensi dari segelintir orang yang menjadi PPDB tersebut menjadi rumit dan bahkan tidak jarang membuat kepala sekolah tidak berdaya alias mati langkah.
Disisi lain, penerimaan peserta didik baru melalui jalur online tidak banyak membantu menjadikan PPDB ini lebih baik. Belum lagi dengan istilah kuota 20 %. Kuota ini bila dirinci sebagai berikut, berasal dari siswa yang orang tuanya tidak mampu (miskin), siswa berprestasi baik akademik maupun non akademik. Dua hal ini bisa di ukur, karena dilengkapi dengan bukti-bukti yang autentik. Yang terakhir berkaitan dengan domisili. Sungguh luar biasa, kuota yang berkaitan dengan domisili menjadi multi tafsir di tengah masyarakat. Semuanya berkata benar paling tidak menurut dirinya sendiri. Ada yang bilang lokasi sekolah hanya berjarak 8 meter dari rumahnya, warga yang lain mengatakan lokasi sekolah ini satu kelurahan dengan tempat tinggalnya. Dan bahkan ada yang memvonis bahwasanya pengertian domisili ini adalah berjarak 1000 meter dari rumah ke sekolah. Mana yang benar?, ENTAHLAH.
PPDB ini telah menjadi sebuah peristiwa yang mengerikan bagi sekolah. Karena sistim apapun yang dibuat, kalau tidak menyentuh kepada persoalan yang sesungguhnya tidak akan mampu mengurai benang kusut itu. Bahkan, yang sangat menyedihkan, PPDB telah menggerus kepercayaan masyarakat pada pendidik.
Strategi apa yang hendak kita gunakan ketika di satu sekolah mempunyai daya tampung misalnya 216 orang (terdiri dari 6 rombongan belajar). Mengacu pada aturan yang ada, satu rombongan belajar terdiri dari 32 – 36 orang. Sementara siswa yang hendak masuk ke satu sekolah tersebut mencapai 355 orang misalnya. Pertanyaannya, bagaimana nasib 139 siswa yang tereliminasi oleh sistim alias tidak diterima?.
Di sinilah intervensi itu dimulai. Bentuknyapun beragam. Ada secarik kertas ditulisi nama, status, serta lengkap dengan nomor telepon. Bermodalkan kertas kecil ini, membuat orang bisa dengan gagah dan percaya diri penuh menemui kepala sekolah. Disisi lain, kepala sekolah juga tidak kuasa untuk menolak kertas sakti itu. Maaf, di zaman yang riuh rendah ini hanya segelintir orang yang menyadari bahwa mata pena itu berbahaya.
Singkat cerita, anggaplah surat sakti yang tidak kuasa ditolak oleh kepala sekolah mencapai 36 orang. Lalu dilebur ke 6 rombongan belajar tadi, maka satu rombongan belajar terdiri dari 42 orang. Pekerjaan surat sakti selesai, lalu bagaimana dengan nasib 103 orang calon siswa yang bertahan dan bersikeras untuk tetap masuk kesekolah tersebut?.
Persoalan di atas adalah menjadi domainnya pemerintah, bukan kepala sekolah apalagi guru. Sementara kalau kita hanya berharap dan menunggu dari pemerintah, sepertinya tidak mungkin. Untuk itu keberadaan Komite Sekolah menjadi penting. Berikan keleluasaan pada mereka, awasi kerjanya. Karena kita tahu, keberadaan komite sekolah legal dan nyata-nyata dibutuhkan oleh pemerintah untuk bersama sama memajukan dunia pendidikan.
Kalau hal ini tidak juga dipahami oleh semua pihak. Tulisan ini saya tutup dengan menitipkan pesan khususnya kepada para orang tua bahwa, GURU itu mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Demikian Daoed Yoesoef (1980) menegaskan.
(Faisal Amri)
Sumber: faisalamri71
komentar (0 komentar)
Posting Komentar